lahirnya pemikiran pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia



 Gambar terkait
[image: poskotanews.com]
Sejarah Pembentukan MK
a.       Penataan kelembagaan negara dalam perubahan UUD 1945, khususnya pada perubahan ke tiga yaitu dengan munculnya lembaga negara baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dalam jajaran kekuasaan kehakiman.

b.       Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan sejarah lahirnya pemikiran adanya judicial review, yang sejatinya merupakan tugas utama dari Mahkamah Konstitusi.

Lahirnya Pemikiran Judicial Review
a.       Kasus Madison vs Marbury, yang disidangkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin oleh hakim agung John Marshal, yang menarik dari kasus ini adalah keberanian John Marshal melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Keberanian John Marshal dalam kasus ini menjadi preseden dalam sejarah Amerika Serikat yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktek hukum di banyak negara. semenjak itulah banyak UU federal yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi Mahkamah Agung Amerika Serikat.  (supreme court).
b.       Pendapat Hans Kelsen tentang teory hukum berjenjang/ stuffenbau theory yang menyatakan baha konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat hukum yang superior, artinya bahwa peraturan yang ada dibawahnya haruslah bersumber pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas menegakkan konstitusi, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi UU dan membatalkannya jika bertentangan dengan UUD.

Pemikiran Pembentukan MK di Indonesia
a.       Rapat BPUPKI, Moh. Yamin menggagas lembaga yang berenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan kontitusi yang laim disebut constitutioneere geschil atau konstitusional Dispute. Gagasan Moh. Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan materieele toetsingrecht atau uji materiil terhadap UU. Moh. Yamin mengusulkan perlunya MA tetap sebagai lembaga yang berenang untuk melaksanakan tugas itu. Namun usulan Moh. Yamin ditentang oleh soepomo dengan 4 alasan:
1.       Konsep dasar yang dianut oleh UUD yang sedang disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan/ separation power  melainkan dengan konsep pembagian kekuasaan/ distribution of power.
2.       Tugas hakim adalah menerapkan UU, bukan menguji UU.
3.       Kewenangan hakim untuk menguji UU bertentangan dengan konsep supremasi parlemen yang dipegang oleh MPR.
4.       Sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai judicial review.

b.       Pada rezim berlakunya konstitusi RIS, judicial review merupakan salah satu wewenang dari MA namun terbatas hanya menguji UU pada negara bagian terhadap konstitusi yang diatur melalui Pasal 156, Pasal 157, Pasal 158 Konstitusi RIS. Akan tetapi pada UUDS 1950, tidak diatur mengenai lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian UU karena UU dianggap sebagai pelaksanaan atass kdaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR.
c.        Diawal masa Orba pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS (1966-1967) yang merekomendasikan diberikannya hak menguji material UU kepada MA. Namun, rekomendai itu ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa hanya MPR lah yang dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi.
d.       Pemikiran adanya lembaga yang diberikan kewenangan untuk menguji UU pernah dilakukan oleh MPRS melalui ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 Tentang Peninjauan Kembali Produk Hukum Legislatif diluar Produk Hukum MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
e.        Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian UU terhadap UUD, kembali muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan sebagai UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Saat itu ikatan hakim Indonesia yang mengusulkan agar diberikan kewenangan menguji UU terhadap UUD. Namun karena ketentuan tersebut dipandang merpakan materi muatan konstitusi sedangkan dalam UUD45 tidak diatur sehingga usul itu tidak disetujui oleh pembentuk UU. MA ditetapkan memiliki ewenang judicial review secara terbatas, yaitu menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap UU, itupun dengan ketentuan harus dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan. Ketentuan ini juga dituangkan dalam TAP MPR No. VI/MPR?1973 dan TAP MPR Nomor III/MPR/1978.
f.        Perdebatan mengenai hak menguji muncul lagi pada pertengahan tahun 1992 ketika ktua MA Ali Said menganggap bahwa pemberian bahwa pemberian hak menguji pada MA adalah hal yang proporsional karena MA merupakan salah satu pilar demokrasi. Jika dua pilar lain, yaitu presiden dan DPR bertugas membuat dan menetapkan UU, maka MA bertugas mengujinya. Gagasan tersebut merupakan gagasan yang didasarkan pada prinsip check and balances.
g.        Pejuang IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) yang memperjuangkan MA diberi kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, usulan ini tidak pernah mendapatkan tanggapan karena dilatar belakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan UUD atau konstitusi yang cenderung disakralkan.
h.       Panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI pada bulan Maret- April tahun 2000 memaparkan gagasan dibentuknya MK yang tempatnya disatukan dengan MA dengan keenangan melakukan uji materi atas UU, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, antar pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah.

Komentar

  1. J-8 casino: play now online and online for real money - JtmHub
    J-8 casino is a live 거제 출장안마 dealer 동해 출장안마 casino 의왕 출장샵 where players can play games online 서울특별 출장샵 for real money. The casino's jackpots 영주 출장샵 are automatically doubled over time.

    BalasHapus

Posting Komentar