FILSAFAT HUKUM, SYARAT-SYARAT UNTUK MENJADI NORMA MENURUT MAZHAB-MAZHAP DALAM FILSAFAT HUKUM


1)      MADZHAB HUKUM ALAM/KODRAT
a.      SyaratUntukMenjadi Norma Hukum
          Hukumalammenjelaskanmasyarakathukum sebagai suatu sistem masyarakat universal yaitu setiap orang mempunyai kedudukan sama di depan hukum. Sedangkan Mazhab hukum kodrat meyakini bahwa hukum dan keadilan digambarkan lebih tinggi, berlaku abadi dan hal terakhir yang berkembamng dari sifat alam semesta.[1] Anggapan ini karena mazhab ini mengafirmasi bahwa hukum dan keadilan bearsal dari tuhan, alam semesta dan akal budi manusia. Adapun Thomas Aquinas memberi nama hukum alam yang bersumber dari wahyu Tuhan dengan istilah hukum ilahi positif (ius divinum positivum) dan hukum yang didasarkan pada akal budi manusia disebut hukum alam (ius naturale) atau hukum bangsa-bangsa (ius gentium) dan hukum positif manusiawi (ius positivum humanum)
          Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapat empat syarat untuk menjadi norma menurut mazhab hukum alam (kodrat), yaitu:
1)      Bersubstansi pada keadilan
2)      Absolut dan Universal
3)      Imperasional/terlepas dari manusia.
4)      Bersifat mengikat, menurut Mertokusumo suatu norma harus bersifat mengikat, sedangkan sumber mengikatnya suatu norma adalah karena adanya kepercayaan.[2]

b.      ArgumentasiFilosofis
Aliran hukum alam dibagi menjadi dua, yaitu:
1)      Hukum alam irrasional /Teistik (Logosentris):
AliraniniberpandanganbahwahukumyangberlakuuniversaldankekalituberasaldariTuhandengansumberutamanya kitab suci. Karena hukum alam ini bersumber pada Tuhan,maka hokum dan keadilan yang diwujudkannnya adalah hokum dan keadilan yang abadi,universal.
Thomas Aquinas berpandangan bahwa hukum positif yang bertentangan dengan hukum alam, maka hukum alam yang dimenangkan dan hukum positif menjadi hilang kekua taanya.
Ini menunjukkan bahwa hokum alam memiliki kekuatan hokum yang sungguh-sungguh.Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam.
Lebih jauh Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan,yaitu:1)LexAeterna,merupakanrasioTuhansendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum.Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia.2)LexDivina,bagiadarirasioTuhanyangdapatditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya. 3) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia. 4) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatanmanusia.
Pada dasarnya inti dari aliran/madzab hukum alam adalah bahwa itu identik dengan kehendak mutlak Tuhan, yang berlaku dimana saja dan kapan saja.

2)      Hukum alam rasional/Non Teistik (Antroposentris):
Aliran hukum alam rasional bersumber pada rasio manusia Rasio dalam hukum alam rasional dibagi menjadi 2 yaitu:
a.       Rasio Manusia (contoh: asas hukum/etika)
Perjanjian/kesepakatan antar manusia untuk membentuk norma hukum. (akal budi teoritis)
b.      Rasio Alam Semesta (Rasio Murni)
Rasio murni manusia berdasar moralitas (imperatif kategoris) (akal budi praktis). [3]
Pandangan ini menuntun para pembuat hukum atau peraturan perundangan memper timbangkan betul akal budi manusia. Karena aliran ini menganggapbahwaakalbudimanusiaakanmampumelahirkan hukum yang berkeadilan, rasional dan dapat diperdebatkan argumentasinya dengan akal budi manusia yang sesuai dengan kebutuhankemanusiaannya.
Diantara para pendudukung aliran/madzhab ini adalah Hugo de Groot (Hugo Grotius). Hugo Grotius adalah seorang filsuf penganut paham humanisme. Karena pahamnya itu iamencari dasar baru bagi hukum alam dari diri manusia itu sendiri, sebab manusia diniilai memiliki kemampuan untuk mengerti segala hal yang ada dalam lingkup kehidupannya dengan rasio, kemampuan berpikirnya melalui hitungan-hitungan yang pasti.
MenurutGrotius,hukum alam tetap akan ada seandainya Tuhan yang menjadi sumber hukum alam irrasional itu tidak ada, karena baginya hukum alam adalah akal budi manusia sebagai sumbernya. Walaupun demikian Grotius tetap mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta semesta alam, ia masih tetapmengakuibahwafundamenhukumalamadalahTuhan. Hak-hak alam yang ada pada diri manusiaadalah;
1)       Hak kebebasan atas dirinyasendiri
2)       Hak untuk berkuasa atas oranglain
3)       Hak berkuasa untuk berskuasasebagaimajikandan
4)       Hakuntukberkuasaatas milik dan barang-barang.[4]

2)      MADZHAB HUKUM POSITIVISTIK
a.      SyaratUntukMenjadi Norma Hukum
Positivisme hukum mendapatkan penekanan fundamental pada dua tokoh, yaitu John Austin dan Hans Kelsen. Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari penguasa; hukum dipandang sebagai perintah dari orang yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan), hukum merupakan perintah yang dibebankan kepada makhluk yang berpikir, perintah itu diberikan oleh makhluk yang berpikir yang memegang keuasaan. Masih menurut Austin, hukum positif harus memenuhi beberapa unsure, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Di luar itu semua bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Sementara itu, menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang bukan hukum, seperti etika. Hukum harus dibersihkan dari moral, sebagaimana yang diajarkan oleh aliran hukum alam; juga konsepsi hukum kebiasaan (sosiologis) dan konsepsi keadilan (unsur politis). Menurutnya, hukum adalah keharusan, bukan sebagai kenyataan. Hukum ditaati karena memang harus ditaati. Jika seseorang tidak menaatinya maka ia akan berhadapan dengan akibatnya, yaitu sanksi. Hukum juga mempunyai sistem hierarki yang tersusun dari tingkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang peringkanya lebih tinggi. Dengan demikian, hukum menurut Kelsen, adalah: pertama, suatu sistem tertutup atau sistem hukum murni, yaitu sistem norma murni yang harus dipisahkan dari unsur-unsur lain yang bukan hukum; kedua, hukum sebagai keharusan (sollenkategori); hukum sebagai sistem peringkat yang sistematis menurut keharusan tertentu.Adapun menurut H.L.A.Hart yang memperkuat dua pendapat sebelumnya. Iamengajukanperbedaanantaraperaturanyuridis dan tidakyuridis. Bahwauntukmengetahuisuatuperaturanhukumbersifat legal dan hukum sebenarnya, maka harus ada duajeniskaidahhukum. Ada kaidahhukum yang mengaturkelakuan orang (kaidah primer) dan adakaidahhukum yang menentukanmasyarakatbagiberlakunyakaidah primer tersebut (kaidahsekunder). Kaidahsekunderdisebutkaidahpetunjukpengenal (rule of recognition), sebabkaidahitulah yang memberitahukepadakitamanakahhukum yang sahitu. Jadi suatu peraturan dikatakan sebagai hukum harus berdasar realita dan dibuat dengan berpikir secara logis.
Jadi dalam hal ini dapat dirumuskan bahwa syarat menjadi norma hukum menurut madzab positivistik adalah sebagai berikut:
1.     Norma yang merupakan bagian dari perintah penguasa yang harus memenuhi unsur perintah, larangan, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
2.     Norma yang harus dipisahkan secara tegas dari moral dan politik serta norma hukum yang dibentuk harus didasarkan pada keadaan aktual atau keadaan yang ada bukan semata-mata untuk menciptkan norma yang ideal
3.     Norma yang harus didasarkan pada cara berfikir yang logis
4.     Norma yang didasarkan pada pendapat atau penilaian moral harus dibuktikan dengan menunjukkan bukti-bukti faktual atau argumen rasional;
5.     Norma tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Norma yang lebih rendah harus didasarkan pada norma yang lebih tinggi
6.     Sebagai perintah penguasa norma hukum harus ditaati walaupun dinilai tidak adil, karena hukum adalah keharusan bukan sebagai kenyataan.
         
b.      ArgumentasiFilosofis
          Positivisme, rujukan etimologisnya berasal dari bahasa Latin “Ponere-Posui-Positus” yang berarti , meletakkan‟, memaksudkan bahwa tindakan manusia itu disebut baik atau buruk, benar atau salah, sepenuhnya bergantung kepada peraturan atau hukum yang diletakkan, diberlakukan. Positivisme Hukum, dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan[5]. Dalam hal norma digunakan sebagai pedoman yang menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang dititik beratkan adalah pedomannya bukan perbuatannya.
          Menurut Jhon Austin, Pembentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang bentuknya diidentikan dengan udang-undang serta dikenakan terhadap pihak yang dikuasai adalah ajaran dari dua pemikir Positivisme Hukum terkemuka, John Austin dan Hans Kelsen. Pemikir positivisme utama, John Austin, mengartikan hukum sebagai, ”...a rule laid down for the guidance of an inteligent being by an inteligent being having power over him. Austin melahirkan dua buku yang terkenal, yakni ”Lectures on Jurisprudence” dan ”The Province of Jurisprudence Determined”. Dalam buku ”Lectures on Jurisprudence” yang merupakan kumpulan kuliah, Austin mengungkapkan bahwa ”Law is a command of the Lawgiver”. Sedangkan buku ”The Province of Jurisprudence Determined” yang merupakan elaborasi lebih lanjut dari ajaran gurunya Jeremy Bentham, Austin mengajarkan;
a.                   Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari
yang berdaulat (sovereignty). ”Every law or rule is a command. Or, rather, laws
or rules, properly so called, are a species of commands.”


b.      Hukum yang layak adalah suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup
(closed logical system). ”...which are included in the literal acceptation of term
law, and those which are by a close and striking analogy, though, improperly
termed laws, there are numerous applications of the term law, which rest upon a
slender analogy and are merely metaphorical of figuratif....”
c.       Hukum positif harus memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.Diluar itu, bukanlah hukum, melainkan moral positif.
          Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kehendak ini dijelas bukan sesuatu yang kosong melompong.[6] Hukum bukanlah cermin dari keadilan dan etika, karenanya hukum harus dilepaskan dari etika. Hukum harus lepas dari nilai-nilai “baik atau buruk”, “benar atau salah”, atau “adil atau tidak adil”. Tidak penting, apakah hukum itu adil atau tidak, yang penting “perintah yang berdaulat”, maka itu-lah hukum yang sesungguhnya dan semua orang diminta untuk mentaatinya. Hukum juga bukan berasal dari jiwa masyarakat, namun hukum berasal dari perintah yang berdaulat. Karenanya, hukum eksis karena perintah penguasa yang berdaulat. Hukum yang valid adalah hukum yang bersumber dari perintah penguasa. Hukum mengikat karena ada unsur “perintah” yang dapat dipaksakan kepada subjek yang dituju oleh hukum. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen dengan mengatakan,
          A positive legal rule is to be equated with a pure norm, that is, with an ought or may meaning content,” dan selanjutnya,” A legal system is to be equated with a collection of pure interpreted by legal scientist as non-contradictory field of meaning --- such interpretation entailing the logical postulate that legal norm mustoriginate in a finite number of sources.”
          Pemikir positivis Hans Kelsen, menjadikan Positivisme Hukum menjadi semakin ketat. Kelsen hadir ketika Filsafat Hukum (yang masih didominasi Aliran Hukum Alam terlampau sibuk pada mainstream perbincangan ontologis dan debat spekulatif tentang apa makna keadilan, kelayakan, dan hukum absolut, yang semakin jauh dari permasalahan konkret. BersamaandengankemunduranHukum Alam timbul kebutuhan pada suatu hukum ilmiah positif, maka pada saat yang tepat Hans Kelsen muncul dengan melakukan ”provokasi” dengan menyebut Revenue Internationale de la theorie du droit (Perspektif Internasional tentang Teori Hukum) pada tahun 1926.  Menurut Hans Kelsen hukum harus lepas dari semua pertimbangan moral, politik,ekonomi, dan sebagainya. Pembersihan atau pemurnian hukum dari anasir-anasir non hukum dari hukum, (secara epistemologi) merupakan dasar akhir dan mutlak bagi Kelsen.Banyak kalangan menyebut Hans Kelsen sebagai peletak dasar dari Teori dan ilmu Hukum menjadi suatu disiplin yang mandiri (autonomus discipline).[7]
          Hak dan kewajiban, menurutt Hans Kelsen, hanya ada kalau ditentukan olehhukum positif. Kaedah hukum mewajibkan karena segi formalnya. Ada dua teori penting yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mempengaruhi pemikiran hukum. Pertama, hukum harus bersifat murni. Hukum harus dipisahkan dengan moral, sehingga tujuan hukum hanya satu, yakni kepastian hukum . The Pure Theory of Law separates the concept of the legal completely from that of the moral norm and establishes the law as a specific system independent even of the moral law. Pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Austin, yang membedakan adalah Hans Kelsen lebih konsisten untuk memurnikan hukum dari variabel-variabel non hukum sehingga kemudian pemikirannya diberi nama Teori yang Murni tentang Hukum. Kelsen memberikan aksentuasi tambahan bahwa hukum bukan hanya dibersihkan dari anasir-anasir moral, tetapi juga anasir-anasir non yuridis lainnya seperti sosiologis, politis, psikologis dan sebagainya. Kelsen dalaam bukunya The Pure Theory of Law mengatakan:
          The Pure Theory of Law is theory of positive law.... That all this is described as a ”pure” theory of law means that it is concerned solely with that part of knowledge which does not strictly belong to the subject-matter law. That is, it endeavours to free the science of law from foreign elements. This is fundamental methodological principle.”
          Kedua, ajarannya tentang Stufenbau des Recht yang mengutamakan tentang adanya hirarkis peraturan perundang-undangan. Stufenbautheorie mengajarkan bahwa sistem hukum adalah hirarkis dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Yang dimaksud dengan ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah ketentuan hukum yang lebih konkrit daripada yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi menjadi sumber norma yang lebih rendah.[8]
          Selain dua tokoh yang disebutkan di atas, terdapat tokoh bernama H. L. A. Hart yang semakin memperkuat makn  istilah hukum positif terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan hukum sebagai dibangun di atas basis ilmiah. PenguatandaripemikiranKelsendapatdilihatbagaimanapendapattentanghukumyaitu H.L.A. Hart. Iamengajukanperbedaanantaraperaturanyuridis dan tidakyuridis.  Menurut Hart, secarapengertian Austin tentanghukumtepat, sebabbenarlah, bahwaperintah-perintah yang disebuthukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwaperintah-perintahitubiasanyaditaati. Tetapiitutidakcukup. Bahwauntukmengetahuisuatuperaturanbersifat legal, dan karenanyasungguh-sungguhhukum, kata Hart, minimal kitaharusinsyaftentangduajeniskaidahhukum. Ada kaidahhukum yang mengaturkelakuanorang(kaidah primer) dan adakaidahhukum yang menentukanmasyarakatbagiberlakunyakaidah primer tersebut (kaidahsekunder). Kaidahsekunderdisebutkaidahpetunjukpengenal (rule of recognition), sebabkaidahitulah yang memberitahukepadakitamanakahhukum yang sahitu,[9]
          Menurut Hart menyatakanterdapatsekurang-kurangnya lima pengertianpositivismehukumsebagaidasardarialiranini:
(1)       Positivismehukumdigunakanuntukmenunjuk pada konsephukum yang mendefinisikanhukumsebagaikomandotanpamengabaikanperaturanlainnyayaknisemuaundang-undang dan konstitusisertahukuminternasionaldapatdimasukkandalamkategoripositivis serta diperluas meliputi hukum adat dan hukum yang dibuat oleh hakim
(2)   Positivismehukum juga menandaiperkembanganpentingkonsephukum yang ditandai oleh duaciriutama :hukumdipisahkansecarategas dari moral dan politik dan hukumtidakberurusan dengan hukum ideal melainkan hukum aktual (hukum yang ada)
(3)   Positivisme hukum juga dipahami sebagai suatu cara berpikir dalam proses judicial dimana hakim memberikan keputusan dengan dasar utama sepenuhnya pada peraturan hukum yang telah ada.
(4)   Positivisme hukum yang berpendapat mengenai penilaian moral perlu menunjukkan bukti faktual atau argumenrasional.
(5)   Positivisme hukum juga digunakanuntuk menunjuk pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak adil harus dipatuhi.
          Jadimenurut Hart, syaratuntukmenjadinormahukumdiantaranyaharusdidasarkan pada caraberpikirsecaralogis. Dimanakeputusan yang diambil hakim berdasarkan pada peraturanhukum yang telahada. Hal inimenandakanbahwakeputusanjudisialsemata-matamerupakanhasildeduksi peraturan hukum. Selainituuntukhal yang mengenaipenilaian moral perlumenunjukanbuktifaktualatau argument rasional, artinyasuatunormahukum yang menilai moral harussesuaidenganrealitadalammasyarakat dan menurutpikiransertapertimbangan yang logis. Sehinggatidakmenimbulkanpertentanganantaranormahukumdenganmoralitas yang diterima oleh segenapanggotamasyarakat. Pandanganterakhirini dikenal sebagaipositivismesosiologis.[10]

3)      MADZHAB HUKUM HISTORIS
a.      SyaratUntukMenjadi Norma Hukum
          Mazhab Historis dengan tokoh pendirinya Carl Von Savigny, Putcha dan H.S Maine, memepercayai bahwa hukum merupakan aturan yang timbul dan hilang bersama  masyarakat, yang memberikan disposisi kepada hakim untuk menafsirkan undang-undang karena untuk memecahkan masalah tidak cukup dengan pendekatan normative-legalistik.Persoalan konkret yang melahirkan formulasi utama dari madzhab historis adalah persoalan kodifikasi hukum Jerman pasca perang Napoleon. Thibaut yang diilhami oleh kitab undang – undang hukum perdata Perancis dan terkesan oleh gerakan unifikasi nasional Jerman, mendukung rasionalitas dan unifikasi undang-undang yang tak terhitung jumlahnya.[11]  Selain demikian, secara umum mazhab hukum historis merupakan reaksi terhadap 3 hal :
1)   Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang berperan dalam filsafat hukum
2)   Semangat revolusi Prancis yang memetingkan wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya
3)   Pendapat zaman itu untuk melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah. Hukum sipil dinyatakan sebagai kehendak legislative dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan sebagai sesuatu yg suci karena berasald dari alasan alasan murni.

b.      ArgumentasiFilosofis
          Yang digunakan Carl Von  Savigny dalam memaparkan pemikirannya yaitu : (1) Rakyat ( people atau volk), (2) Hukum Positif, (3) Hukum Kebiasaan (Adat), (4) Fungsi Legislasi, (5) Hukum yang dihasilkan Legislator (6) Peran Legislasi dan Ilmu Hukum.[12]
1)      Rakyat
    Konsep rakyat (volk, atau people) menjadi konsep sentral bagi seluruh pemikiran Savigny (terutama tentang hukum). Romantismenya bersumber dari rakyat dan dinamika kerakyatan yang terwujud nyatakan dalam kebudayaan dan keseniannya. Istilah rakyat mengacu pada entitas kebangsaan. Maka, berbicara mengenai rakyat berbicara pula tentang sebuah bangsa. Dalam konteks Savigny saat itu adalah bangsa Prusia, bangsa Jerman. Dalam konteks ke-Indonesiaan -bila kita ingin - pemahaman mengenai rakyat atau bangsa mengacu pada suku bangsa atau etnis tertentu.
    Savigny mendefinisikan rakyat (bangsa) sebagai sebuah kesatuan individu yang beraneka ragam (kepentingan, kebutuhan, cita-cila dan lain-Iainnya) hidup dalam keteraturan. Savigny mengajak kita untuk melihat rakyat sebagai sebuah kesatuan semangat, bukan sekedar kumpulan individu-individu karena individu-individu secara satu per satu tidak memiliki makna sama sekali apabila dihadapkan pada istilahrakyat (bangsa).


2)      Hukum Positif
Positif dalam konteks pemikiran Savigny merujuk "positif' mempunyai konteks keberadaan bersama dan dilingkupi oleh jiwa rakyat (bangsa) yang terikat dalam ruang dan waktu tertentu pula. Makna kata positif lebih bersifat substansial, dan bukan formal. Artinya ia menyatakan kualitas isinya. Yang menjadi penekanannya adalah bahwa kesadaran rakyat menciptakan dan menumbuhkan hukum positif. Hukum positif mempunyai konteks tempat dan waktu keberlakuan tertentu. Hal itu menjadi fakta yang membedakannya dengan hukum agama atau hukum alam yang berada dalam tataran pra-positif.
Hukum positif yang dimaksud Savigny mencakup pula hukum baik yang tercatat walaupun yang tertulis, bahkan hukum adat masyarakat setempat. Savigny melihat bahwa hukum ini terbentuk sesuai dengan perjalanan dan perkembangan masyarakat. Tidak beku dalam tulisan dan catatan. Namun demikian, dimungkinkan pula bahwa hukum ini diwujudnyatakan oleh lembaga-Iembaga yang benar-benar menjadi representasi bagi semangat masyarakat (volkgeist) seperti misalnya lembaga yang dipilih secara tradisional oleh para raja, atau pun lembaga legislatif.
3)      Hukum Kebiasaan
Dari pemecahan masalah dalam masyarakat, kita dapat menelusuri hukum kebiasaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Misalnya apabila sebuah masalah yang sama diselesaikan dengan pola yang sama kita dapat menunjuk pola tersebut sebagai sebuah kebiasaan. Untuk kasus berikutnya kita dapat memperkirakan secara mentah bahwa pola tersebut akan digunakan (Iagi) sebagai patokan untuk menyelesaikan masalah yang muncul yang paling tidak mempunyai unsur-unsur yang sama dengan masalah yang muncul sebelumnya.
Oleh Savigny, fenomena ini dinamakan dengan hukum kebiasaan (customary law). Hukum kebiasaan atau hukum adat bagi Savigny adalah salah satu manifestasi dari hukum positif. Namun demikian, kontinuitas dalam hukum adat tidak dapat dijadikan ukuran bahwa hukum kebiasan tersebut adalah hukum positif secara total. Menurut Savigny, kita tidak dapat menggunakan penarikan kesimpulan atas dasar preseden (keberulangan dalam kebiasaan pemecahan masalah) sebagai penyimpulan akan adanya hukum positif. Dengan pernyataan ini, hukum kebiasaan (customary law) bukanlah patokan absolut akan adanya hukum positif. la menjadi salah satu variable dalam menemukan hukum positif, tetapi bukan penentu akan adanya hukum positif.
4)      Legislasi
Fungsi lembaga pembentuk hukum atau legislatif yang mempunyai fungsi legislasi tidak dinafikan oleh Savigny.  Ia melihat legislatif sebagai sebagian dari organ hukum positif yang ada. Artinya hukum positif yang ada dan diakui oleh masyarakat tidak lepas dari campur tangan legislatif. Bahkan legislatif memungkinkan adanya hukum positif yang terartikulasikan dalam proses legislasi. Dalam negara modern peran legislasi jadi sedemikian penting. Semangat dan kehendak untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat modern diartikulasikan oleh lembaga legislatif dan peraturan yang dihasilkan olehnya menjadi afirmasi bagi fungsi lembaga ini yang mengartikulasikan hukum positif.
5)      Hukum yang Dihasilkan Juris
Dalam masyarakat diperlukan sebuah lembaga atau organ yang terpisah yang dapat mengartikulasikan hukum positif seperti lembaga legislatif yang dibicarakan tadi. Lembaga tersebut akan menghimpun orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya. Savigny membicarakan sekelompok orang yang tertentu (elit yang dapat merepesentasikan atau membcea semangat dan kehendak rakyat : volkgeist).
Mereka adalah para yuris yang berada dalam sub-ordo dari ordo besar rakyat atau bangsa. Orang-orang ini membaca dan mengartikulasikan hukum positif dalam hukum tertulis dan tereatat yang mereka keluarkan. Dalam artian ini kita berbicara hukum positif yang berada dalam aras modernitas.
6)      Peran Legislasi dan IImu Hukum
Dalam perkembangan historisnya hukum rakyat dilengkapi oleh dua organ penting." Yang pertama adalah lembaga legislasi yang melingkupi para yuris. Yang kedua adalah ilmu hukum yang menjadi metodologi untuk mencapai kebenaran mengenai semangat dan kehendak rakyat, juga menjadi metode untuk mengartikulasikan ke dalam hukum positif dalam domain kenegaraan. Dengan kedua organ ini diharapkan hukum yang ada menjadi hukum positif dan tidak hanya sekedar tertulis dan tercatat saja, hukum selalu dapat diaktualkan dan dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat atau rakyat yang bersangkutan. Hukum diharapkan dapat menjadi cerminan masyarakat yang memiliki semangat, kehendak dan kesadaran tertentu yang historis.
Savigny memberi catatan secara khusus atas legislasi. Proses legislasi dapat membuat orang terlena untuk mengatakan bahwa proses legislasi-Iah sumber dari hukum positif, atau legislasi dianggap dapat mewakili secara total volkgeist yang menjadi sumber dari hukum positif Tentunya Savigny memaksudkan legislasi dalam proses kenegaraan.
Adapun pendapat Putcha yang menambahkan pemikiran-pemikiran Savigny dalam bukunya Gewohnheitsrecht. Hukum, selain bersumber pada Volkgeist berupa keyakinan hukum yang hidup harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam Negara. Putcha tentang hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori absolutism dan positivisme yuridis karena dat istiadat dan hasil pemikiran hukum dapat berlaku jika memperoleh pengesahan Negara.
Sedangkan H.S Maine, menurutnya hukum terbentuk dalam lima tahapan[13]:
a)      Hukum dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkis dan mendasar pada perimtah raja/ penguasa dengan legitimasi dari kesucian, kesakralan, dan wahyu.
b)      Masa dimana hukum dikuasai / dimonopoli bangsawan yang memiliki hak-hak privillage tertentu yang istimewa. Maine menyebutnya hukum adat (Customary law)
c)      Pengkodifikasian hukum adat karena konflik hukum dengan apa yang terjadi di masyarakat bersangkutan
d)     Hukum adat mulai di kontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat karena perkembangan zaman
e)      Ilmu hukum (jurisprudence ) mengukuhkan dirinya sebagai saluran yang lebih besar untuk membangun huku, agar terkonstruksis secara sistematis, konsisten sesuai dengan metodologi pembentukan hukum.
Pada kesimpulannya, ajaran historis menitikberatkan ajaranya bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari jiwa rakyat yang tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Jadi penganut aliran historis menolak pandangan bahwa hukum itu dibuat oleh lembaga yang berwenang seperti: pembuatan undang-undang.[14]

4)      MADZHAB HUKUM SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
a.      SyaratUntukMenjadi Norma Hukum
          Syaratuntukmenjadinormahukummenurutmadzhab sociological jurisprudence yaitu:
1)      Norma hukumharusdidasarkan pada kenyataanhukum
2)      Norma hukumsebagairekayasasosialmasyarakat
3)      Norma hukum yang didasaridariadanyakepentingan-kepentingansah yang harusdilindungi oleh hukum

b.      ArgumentasiFilosofis
          Menurut Georges Gurvitch, bagi Ehrlich untukmencapaikeputusan-keputusanefektifdalammengatasisengketa dan konflik (Entscheidungsnormen) disanalahdiletakannyaperaturanuntukmenjaga tata tertibmasyarakat (gesselschaftlichesrecht).[15]
          Roscoe Pound adalah salah satuahlihukum yang beraliran sociological jurisprudence yang lebihmengarahkanperhatiannyapada ”kenyataanhukum” daripadakedudukan dan fungsihukumdalammasyarakat. Kenyataanhukum pada dasarnyaadalahkemauanpublik, jaditidaksekedarhukumdalampengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkankompromi yang cermatantarahukumtertulissebagaikebutuhanmasyarakathukum demi terciptanyakepastianhukum (positivism law) dan living law sebagaiwujudpenghargaanterhadappentingnyaperananmasyarakatdalampembentukanhukum dan orientasihukum (Rasjidi dan Rasjidi, 2007).
          Peranstrategis hakim dalamperspektif sociological jurisprudence adalahmenerapkanhukumtidakmeluludipahamisebagaiupaya social control yang bersifat formal dalammenyelesaikankonflik, tetapisekaligusmendesainpenerapanhukumitusebagaiupaya social engineering. Tugasyudisial hakim tidaklagidipahamisekedarsebagaipenerapundang-undangterhadapperistiwakonkrit (berupaberbagaikasus dan konflik) atausebagaisekedarcorongundang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagaipenggerak social engineering. Para penyelenggarahukumharusmemperhatikanaspekfungsionaldarihukumyakniuntukmencapaiperubahan, denganmelakukanperubahanhukumselaludenganmenggunakansegalamacamteknikpenafsiran (teorihukumfungsional). Teorihukummenurut Roscoe Pound adalah “law is a tool of social engineering” yaknihukumadalahalatrekayasamasyarakat. Sama sepertiapa yang dikatakan oleh MochtarKusumaatmadja, hukumadalahkeseluruhanazas-azas dan kaedah-kaedah yang mengaturmasyarakat, termasuk di dalamnyalembaga dan proses untukmewujudkanhukumitukedalamkenyataan. Keduaahlihukuminimemilikipandangan yang samaterhadaphukum (Darmodiharjo dan Shidarta, 2014).[16]
          Cara pandang Sociological Jurisprudence melihatbahwahukumitudibuatsecarasengaja dan didayagunakanuntukmerekayasamasyarakatnya, Jikaselamainihukumdiandaikanberjalantertatih-tertatihmengikutikenyataansosial (het rechthinkt achter de feitenaan), makadalamkonsep social engineering hukumjustruberada di depankenyataansosial dan hakim diharapkan oleh Pound menjadi social engineer. ”The task of the lawyer as ”social engineer”, formulated a programme of action, attempted to ggea individual and social needs to the values of western democratic society.” (Freidman, 2001: 678). Cara berpikirmodernis yang cenderungmenujukebaruanakanmudahberbenturandengancaraberpikirtradisional yang bersikukuhmempertahankannilai-nilai lama. Ketikahukumdidayagunakansebagairekayasasosial, tentuakanberbenturandengantradisi-tradisi yang sebelumnyamapan. Tradisiterguncangkarenaia “dipaksa” berubahmelaluirekayasasosial. Namun, pembaruanmelaluirekayasasosial yang ditawarkan Roscoe Pound tidakbersifatradikalatautidakbermaksudmenjebolsistem, hanyalebihmenekankankemanfaatanpraktis (pragmatis).
          Rescoe Pound salah satutokohMadzhabiniterpengaruhrancangbangunpemikiran Von Jheringdn Bentham, terutamapendekatanhukumsebagaijalankearahtujuansosial dan sebagaialatdalamperkembangansosial. Selanjutnya, denganklarifikasitersebut, Pound hendakmemberikanuraiantentangpremis-premishukum, sebagai formula awalbagipembentukundang-undang, hakim, pengacara dan pengajarhukummenyadariakanprinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkaitdalamtiap-tiappersoalankhusustermasukmenghubungkanantaraprinsip (hukum) dan praktiknya.
          Pada tahun 1923 Rescoe Pound menandaskan, dalamsuatuanalisamengenaiteoritentangkeputusanpengadilan, gambaran yang harusdipergunakan oleh ahlihukum modern untukmembantupengadilan, sebagaiberikut:
1)      Menggambarkan proses rekayasasosialmenuruthukumsebagaibagiandariseluruh proses kontrolsosial;
2)      Menyediakanbagiandaribidangtatananhukum yang bergunabagikecerdasan, termasukmengulangi, memerlukanpatokan-patokan dan penerapan-penerapan oleh perorangan;
3)      Menggambarkankeseimbanganantaraketentuandarisebab yang nyata dan penguraiansuatupresedendalam mana, diperkirakanadanyatuntutan-tuntutankelompok-kelompokdibawahtuntutan-tuntutansosial yang disebutbelakangan; dan
4)      Memberikankesadaranakanperangambaran yang ideal tentangtatanansosial dan hukum, keduanyadalammenentukan dan menerangkanhukum. Tentusaja yang paling disebutakhirmerupakan yang paling penting.
          Menurut Alvin S. Johnson disebabkankarena yang menjadipokokpemikiran Pound adalahsebagaiberikut:
1)      Menelaahakibat-akibatsosial yang aktualdariadanyalembaga-lembagahukum dan doktrin-doktrinhukum (lebih pada fungsihukumdaripadaabstraknya)
2)      Mengajukanstudisosiologisuntukmempersiapkanperundang-undangan dan menganggaphukumsebagaisuatulembagaasosial yang dapatdiperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksanadalammenemukancara-caraterbaikuntukmelanjutkan dan membimbingusaha-usaha yang sepertiitu
3)      Untukmenciptakanefektivitascaradalammembuatperundng-undangan dan member tekanankepadahukumuntukmencapaitujuan-tujuansosial (tidakditekankan pada sanksi).[17]
5)      MADZHAB REALISME HUKUM-PRAGMATIS
a.      SyaratUntukMenjadi Norma Hukum
          Menurut Lili Rasjidi dalam konteks wilayahnya madzhab realisme hukum terbagi menjadi dua, yaitu: Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Perbedaan antara Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia menurut J.W Harris, terletak pada anggapan bahwa kaidah-kaidah hukum merupakan suatu generalisasi dari kelakuan actual hakim, sedangkan Realisme Skandinavia bukanlah praktek pejabat-pejabat hukum yang menjadi titik tolak, melainkan kelakuan orang-orang yang di bawah hukum.
Dua Aliran Realisme Hukum Pragmatis
1)      Realisme Hukum Amerika
    Dalam kerangka mengenali hubungan teks, pembaca, dan realitas dalam realisme hukum, Pierce sebagai salah satu seorang ahli yang penting dalam aliran ini berpendapat bahwa Pragmatisme adalah sebuah metode klarifikasi terhadap konsep-konsep, titik berat kepada cara-cara menemukan makna dari ide-ide berarti bahwa pragmatisme tidak merupakan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan yang tidak merupakan cara-cara untuk memperolah pengetahuan yang benar, melainkan hanya jalan untuk mencapai makna-makna kebenaran objektif, sebagai resultansi dari pengujian experimental secara ketat, yang di temukan dari kesesuain anatara konsep dengan fakta, membuat mengatasi kecurigaan bahwa kebenaran itu relative dan memperkuat metode filsafat tradisional, dalam kerangka penambahan suatu yang baru akibat menutup jalan dari diadaknnya penyelidikan terhadap teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
    Dengan alasan inilah, Pierce mengusulkan adanya pembuktian terhadap klaim kebenaran dan pengetahuan dengan mengenali ciri umum yang dapat diterima semua subjek diluar pembuat klaim, disamping berpikir matematis dan universalitas yang dapat dicapai dengan mendasarkan pada patokan tertentu sehingga konsisten dan tetap tidak terpengaruh oleh pemikiran itu sendiri.
    Namun demikian berbeda pandangan dengan Pierce, William James mengkritisi pemprosesan makna Pierce, bagi James kebenaran terjadi pad aide, dan itu sifatnya tidak pasti. Kebenaran itu sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran itu akan selalu berubah sejalan perkembangan pengalaman karena yang dilakukan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Kebenaran menurut James harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran merupakan suatu prosulat. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta. Ketiga, kebenaran merupakan kesimpulan yang telah digeneralisasi dari pernyataan fakta.
    Sebagai turunan dari pendekatan pragmatis tersebut, realism hukum tidak percaya pada teori bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas, disiplin, rigiditas, dalil-dalil hukun dan ketentuan hukum itu sendiri. Hukum bekerja mengikuti kenyataan konkret, sehingga diperlukan faktor-faktor ekstra legal, logika hukum yang tidak kaku, eksperimental dan pendekatan multidisiplin dengan memanfaatkan dengan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, dan kriminologi.
2)      Realisme Hukum Skandinavia
Axel Hagerstrom sebagai slah satu tokoh ini, memberikan gagasan bahwa hukum seharusnya bertitik tolak dari data empiris, yang ditemukan dalam perasaan psikologis seperti rasa wajib, rasa kuasa mendapat keuntungan dan rasa takut mendapatkan reaksi dari lingkungan dan sebagainya.
Gagasan ini di ikuti oleh Karl Olivecrona. Hukum menurut Olivecrona memiliki dua dimensi yang berintikan  gagasan untuk berbuat dan simbol-simbol imperatif seperti seharusnya (ought), tugas (duty), dan paksaan (offence).
Sejalan dnegn Hagerstrom dan Olivecrona, Alf Ross mengemukakan teori empat tahap (Fourth Grades). Pertama, Hukum dipahami sebagai suatu sistem paksaan yang nyata dan berlaku terus-menerus; Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan diwajibkan dalam arti yuridis yang disetai dengan kebiasaan kepatuhan pada hukum itu sendiri; Keempat, supaya hukum berlaku harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
Dalam konteks pembentukan hukum, Jhon Chipman Gray menempatkan hakim sebagai pusat analisanya karena baginya hakim merupakan pembentuk hukum, disamping logika putusan hakum, kepribadian, prasangka, dan faktor-faktor lain yang yang tidak logis, telah terbukati mampu di andalkan dalam menyelesaikan soal-soal penting dalam konflik antar manusia. Oliver Wendel Homles melengkapi, dalam pendapatnya menolak dengan tegas madzhab analitis maupun madzhab sejarah, ia menekankan perlu adanya sarjana hukum untuk memberikan telaah-telaah objektif dan empiris dari kenyataansosial yang aktual.
Llewellyn menyebutbeberapahal; yang terpenting di antaranyaiaiah:
1)      Tidak ada mazhab realis; realismeadalahgerakandalampemikiran dan 'kerja ten tang hukum;
2)      Realismeadalahkonsepsihukum yang terusberubah dan alatuntuktujuan-tujuansosial, sehinggatiapbaglanharusdiujitujuan dan akibatnya. Realismemengandungkonsepsitentangmasyarakat yang berubahlebihcepatdaripadahukum;
3)      Realismemenganggapadanyapemisahansementaraantarahukum yang ada dan yang seharusnyaadauntuktujuan-tujuanstudi. Pendapat-pendapattentangnilai hams selaludiminta agar tiappenyelidikanadasasarannya, tetapiselamapenyelidikan, gambaranharustetapsebersihmungkinkarenakeinginan-keinginanpengamatatautujuan-tujuanetis;
4)      Realismetidakpercaya pada ketentuanketentuandankonsepsi-konsepsihukum, sepanjangketentuan-ketentuan dan konsepsihukummenggambarkanapa yang sebenarnyadilakukan oleh pengadllanpengadilan dan orang-orang. Realismemenerimadefinisiperaturan-peraturansebagai "ramalan-ramalanumumtentangapayangakandilakukap oleh pengadilanpengadilan". Sesuaidengankepercayaanini, realismemenggolongkankasus-kasuskedalamkategori-kategori yang lebihkecildaripada yang terdapatdalampraktek di masa lampau; dan
5)      Realismemenekankan pada evolusitiapbagiandarihukumdenganmengingatakibatnya.[18]
Kemudian daripenjelasandiatasdapatdisimpulkansyaratuntuk menjadi norma hukum menurut Madzhab Realisme Hukum-Pragmatis, yaitu:
1)      Hukum tersebut adalah kelakuan aktual para hakim.
2)      Hukum harus diterima sebagai suatau yang terus-menerus berubah, hukum bukan sesuatu yang statis. Tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada, untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3)      Untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought, guna keperluan studi.
4)      Tidak mempercayai anggapan, bahwa peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah mencukupi untuk menunjukan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan.
5)      Menolak teori tradisional, bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan.
6)      Berdasarkan fakta-fakta sosial.
7)      Hukum itu dinilai dari efektifitas dan kemanfaatannya.

b.      ArgumentasiFilosofis
          Hakim merupakan wakil tuhan yang mengadiliperkara di pengadilanhalinimemilikiperanan yang sangatpentingdalammenegakkanhukum, dalamrangkamewujudkankeadilanbagikehidupanmasyarakat. Untukwujudkannilai-nilaikeadilan di kehidupanmasyarakat hakim tidakhanyaberpedoman pada hukum-hukumtertulissajakarenatentunyatidakakanbisamencapaikeadilan yang merata.
          SebagaimanJhon Chipman Gray menempatkan hakim sebagaipusatanalisanyakarenabaginya hakim merupakanpembentukhukum, disampinglogikaputusanhakum, kepribadian, prasangka, dan faktor-faktor lain yang yangtidaklogis, telahterbuktimampu di andalkandalammenyelesaikansoal-soalpentingdalamkonflikantarmanusia.[19]
          Realismehukumsebagaisuatubagian yang begitupentingdapatdipahamibahwahukumitudidasarkan pada faktaapa yang sebenarnyaterjadibukandidasarkan pada peraturanperundang-undangan yang adatetapi juga berdarkansemuaaspekkeilmuan yang memungkinkanuntukmencapaikeadilansepertisosiologi, antropologi, ekonomi, psikologimaupunberdasarkanhatinuraniseorang hakim yang tercerahkanberdasarkanpentunjukdariTuhan Yang MahaEsa.

          Sehinggadalamhalini hakim memilikiperanandalammenafsirkanundang-undangsesuaidenganfakta-fakta yang terjadi di dalamkehidupanmasyarakatmaupunkasushukum yang ditanganinyauntukkemudiankeadilandalammasyarakatdapatterjamindenganbaiksesuaidenganapa yang di harapkan.
          Kemudian 3 prinsippokokdari theistic iniyaitupertamabahwaKeyakinanbahwaTuhanadalahsumberdarikebenaran yang tinggi, utama dan otoritatif, keduamemandangbahwapengetahuan yang obyektifdariNyaadalahhal yang esensialuntukmemahamikebenaran dan ketigamenyadaribahwasebagaimakhlukkitaternyatatidakbebassepenuhnyadalammenutuskanhukumtetapikitamembutuhkantransendensidalammengambilsebuahkeputusanhukum.[20]





DAFTAR PUSTAKA
Adi, Mila Karmila, ‘Hakim Sebagai Pembentuk Hukum Dalam Pandangan Pragmatis Realisme Bagi Kebebasan Hakim Indonesia Dalam Pengambilan Putusan’, 1945, 121–33
Antonins Cahyade, ‘HUKUM RAKYAT Ii La Friedrich Karl von Savigny’
Budiono1, Arief, and Wafda Vivid Izziyana, ‘THEISTIC LEGAL REALISM (Suatu Pilihan Radikal Bagi Pengembangan Hukum)’, 2015, 367–83
Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H., M.H, Filsafat Hukum : Dialektika Wacana Modernis (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019)
Farkhani, S.HI., S.H., M.H Elviandri, S.HI., M. Hum, and M.Hum Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum Moch. Juli Pudjioo, S.H., Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme
Gerungan, Elia, ‘PENERAPAN PRINSIP SYARIAH Dl BIDANG KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI TEORI HUKUM KODRAT MENURUT THOMAS AQUINAS Oleh’, 2013, 155–62
Mangku, Dewa Gede Sudika, ‘Fungsi Evaluatif Filsafat Hukum Terhadap Hukum Positif Indonesia’, 8 (2013)
Nadir & Win Yuli Wardani, ‘PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH HUKUM, SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM KHASANAH HUKUM INDONESIA’, YUSTITIA, 20 (2019)
Putra, Marsudi Dedi, ‘KONTRIBUSI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERHADAP PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM INDONESIA’, 45–58
Suharto, Bekti, ‘Menyoal Sudut Pandang : Kritik Terhadap Epistemologi Positivisme Hukum’, 299–318
Widodo Dwi Putro, ‘PERSELISIHAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DENGAN MAZHAB SEJARAH DALAM KASUS ”MERARIK”’, 6 (2013), 48–63

Yoyon Mulyana Darusman Magister, ‘KAJIAN TEORITIS ALIRAN POSITIVISME HUKUM, DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN UU NO. 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN JO UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN’, 3 (2016), 31–47




[1]Dewa Gede Sudika Mangku, ‘Fungsi Evaluatif Filsafat Hukum Terhadap Hukum Positif Indonesia’, 8 (2013).
[2]Elia Gerungan, ‘PENERAPAN PRINSIP SYARIAH Dl BIDANG KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI TEORI HUKUM KODRAT MENURUT THOMAS AQUINAS Oleh’, 2013, 155–62.
[3]M.H Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H., Filsafat Hukum : Dialektika Wacana Modernis (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019).
[4]M. Hum Farkhani, S.HI., S.H., M.H Elviandri, S.HI. and M.Hum Sigit Sapto Nugroho, S.H., M.Hum Moch. Juli Pudjioo, S.H., Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme.
[5]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[6]Bekti Suharto, ‘Menyoal Sudut Pandang : Kritik Terhadap Epistemologi Positivisme Hukum’, 299–318.
[7]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[8]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[9]Yoyon Mulyana Darusman Magister, ‘KAJIAN TEORITIS ALIRAN POSITIVISME HUKUM, DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN UU NO. 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN JO UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN’, 3.2 (2016), 31–47.
[10]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[11]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[12]Antonins Cahyade, ‘HUKUM RAKYAT Ii La Friedrich Karl von Savigny’.
[13]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[14]Nadir & Win Yuli Wardani, ‘PERCIKAN PEMIKIRAN TIGA ALIRAN HUKUM: SEJARAH HUKUM, SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, DAN LEGAL REALISME DALAM KHASANAH HUKUM INDONESIA’, YUSTITIA, 20.1 (2019).
[15]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[16]Widodo Dwi Putro, ‘PERSELISIHAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DENGAN MAZHAB SEJARAH DALAM KASUS ”MERARIK”’, 6.1 (2013), 48–63.
[17]Marsudi Dedi Putra, ‘KONTRIBUSI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERHADAP PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM INDONESIA’, 45–58.
[18]Mila Karmila Adi, ‘Hakim Sebagai Pembentuk Hukum Dalam Pandangan Pragmatis Realisme Bagi Kebebasan Hakim Indonesia Dalam Pengambilan Putusan’, 1945, 121–33.
[19]Dr. Kelik Wrdiono, S.H.,M.H dan Saepul Rochman,S.H.
[20]Arief Budiono1 and Wafda Vivid Izziyana, ‘THEISTIC LEGAL REALISM (Suatu Pilihan Radikal Bagi Pengembangan Hukum)’, 2015, 367–83.

Komentar